SELAMAT DATANG TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA

Sabtu, 19 Februari 2011

40 tahun sebelum nubuwwah

2.1. Kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan ditengah keluarga Bani Hasyim di Makkah pada hari senin pagi, tanggal 9 Rabi’ul Awwal, permulaan tahun dari peristiwa gajah, dan empat puluh tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan, atau bertepatan dengan tanggan 20 atau 22 April tahun 571 M, berdasarkan penelitian ulama terkenal, yaitu Muhammad Sulaiman Al_Manshurfury dan peneliti astronomi, yaitu Mahmud Basya.
Ibnu Sa’d meriwayatkan bahwa ibu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana_istana di Syam.” Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Al_Arbadh bin Sariyah, yang isinya serupa dengan riwayat di atas.
Diriwayatkan juga bahwa ada beberapa bukti pendukung kerasulan, bertepatan dengan saat kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu runtuhnya 10 balkon istana Kisra, dan padamnya api yang biasa disembah orang_orang Majusi serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah setelah gereja_gereja itu ambles ke tanah. Hal ini diriwayatkan oleh Al_Baihaqi, sekalipun Muhammad Al_Ghazaly tidak mengakuinya.
Setelah Aminah melahirkan, dia mengirim utusan ke tempat kakeknya, yaitu Abdul Muththalib untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran cucunya Maka Abdul Muththalib datang dengan perasaan suka cita, lalu membawa beliau ke dalam Ka’bah, seraya berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada_Nya. Dia memilih nama Muhammad bagi beliau. Nama ini belum pernah dikenal di kalangan Arab. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dikhitan pada hari ke tujuh, seperti yang biasa dilakukan orang_orang Arab. Tetapi ada juga yang berpen-dapat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan dalam keadaan sudah dikhitan. .
Wanita yang pertama kali menyusui beliau setelah ibundanya adalah Tsuwaibah – dia adalah seorang hamba sahaya Abu Lahab – yang kebetulan sedang menyusui anaknya yang bernama Masruh, yang sebelumnya wanita ini juga menyusui Hamzah bin Abdul Muththalib. Setelah itu dia menyusui Abu Salamah bin Abdul Asad Al_Makhzumy.

2.2. Di Tengah Bani Sa’d bin Bakr
Tradisi yang berjalan di kangan Bangsa Arab yang relatif sudah maju, mereka mencari wanita_wanita yang bisa menyusui anak_anaknya sebagai langkah untuk menjauhkan anak_anak mereka dari penyakit yang biasa menjalar di daerah yang sudah maju, agar tubuh bayi menjadi kuat, otot_otonya kekar dan agar keluarga yang menyusui bisa melatih bahasa Arab. Maka Abdul Muththalib mencari para wanita yang bisa menyusui beliau. Dia meminta kepada seorang wanita dari bani Sa’d bin Bakr agar menyusui beliau, yaitu Halimah binti Abu Dzu’aib, dengan didampingi suaminya, yaitu Al_Hartits bin Abdul Uzza yang berjulukan Abu Kabsyah dari kabilah yang sama.
Paman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Hamzah bin Abdul Muththalib juga disusui di Bani Sa’d bin Bakr. Suatu hari ibu susuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menyusui Hamzah bin Abdul Muththalib selagi beliau masih dalam susuannya. Dengan demikian, Hamzah bin Abdul Muththalib adalah saudara sesusuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dua pihak, yaitu dari Tsuwaibah dan dari Halimah As_Sa’diyah.
Halimah As_Sa’diyah bisa merasakan barakah yang diwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga bisa mengundang decak kekaguman. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Ishaq bahwa Halimah As_Sa’diyah pernah berkisah, “Suatu kali dia pergi dari negerinya bersama suami dan anak yang disusuinya, serta bersama beberapa wanita dari Bani Sa’d bin Bakr. Tujuan mereka adalah mencari anak yang bisa disusui. Dia berkata: itu terjadi pada masa paceklik, tidak banyak kekayaan yang tersisa. Aku pergi sambi naik keledai betina berwarna putih milik kami dan seekor unta yang sudah tua dan tidak bisa diambil air susunya lagi walau setetes pun. Sepanjang malam kami tidak pernah tidur, karena harus meninabobokan bayi kami yang terus menerus menangis karena kelaparan. Air susuku juga tidak bisa diharapkan, sekalipun kami tetap masih mengharapkan adanya uluran tangan dan jalan keluar. Aku pun pergi sambil menunggang keledai betina milik kami dan hampir tidak pernah turun dari punggungnya, sehingga keledai itu pun semangkin lemah kondisinya. Akhirnya kami serombongan tiba di Makkah dan kami langsung mencari bayi yang bisa kami susui. Setiap wanita dari rombongan kami yang ditawari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti menolaknya, setelah tahu bahwa beliau adalah anak yatim. Tidak mengherankan, karena kami memang mengharapkan imbalan yang cukup memadai dari bapak bayi yang hendak kami susui. Kami semua berkata: Dia adalah anak yatim. Tidak ada pilihan bagi ibu dan kakek beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kami tidak menyukai keadaan seperti itu. Setiap wanita dari rombongan kami sudah mendapatkan bayi yang disusuinya, kecuali aku sendiri. Tatkala kami sudah siap_siap untuk kembali, aku berkata kepada suamiku: Demi Allah, aku tidak ingin kembali bersama teman_temanku wanita tanpa membawa seorang bayi yang kususui. Dermi Allah, aku benar-benar akan mendatangi anak yatim itu dan membawanya.”
Halimah As_Sa’diyah melanjutkan penuturannya, “Maka aku pun pergi menemui bayi itu (beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan aku siap membawanya. Tatkala menggendongnya seakan_akan aku tidak merasa repot karena mendapat beban yang lain. Aku segera kembali menghampiri hewan tungganganku, dan tatkala puting susuku kusodorkan kepadanya, bayi itu bisa menyedot air susu sesukanya dan meminumnya hingga kenyang. Anak kandungku sendiri juga bisa menyedot air susu sepuasnya hingga kenyang, setelah itu keduannya tertidur pulas. Padahal sebelum itu kami tidak pernah tidur sepicing pun karena mengurus bayi kami. Kemudian suamiku menghampiri untanya yang sudah tua, ternyata air susunya menjadi penuh, maka kami memerahnya. Suamiku bisa minum air susu unta kami, begitu pula aku, hingga kami benar_benar kenyang. Malam itu adalah malam yang terasa paling indah bagi kami.”
Pada besok harinya suamiku berkata kepadaku, “Demi Allah, tahukah engkau wahai Halimah, engkau telah mengambil satu jiwa yang penuh barakah.” Halimah As_Sa’diyah pun berkata, “Demi Allah, aku pun berharap yang demikian itu.”
Halimah As_Sa’diyah melanjutkan penuturannya, “Kemudian kami pun siap_siap pergi dan aku menunggang keledaiku. Semua bawaan kami juga kunaikkan ber-samaku di atas punggungnya. Demi Alalh, setelah kami menempuh perjalanan sekian jauh, tentulah keledai_keledai mereka tidak akan mampu membawa beban seperti yang aku bebankan di atas pungggung keledaiku. Sehingga rekan-rekanku berkata kepadaku: Wahai putri Abu Dzu’aib, celaka engkau! Tunggulah kami! Bukankah ini adalah keledaimu yang pernah engkau bawa bersama kita dulu?” Halimah As_Sa’diyah berkata, “Demi Allah, begitulah. Ini adalah keledaiku dulu.” Mereka berkata, “Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa.”
Kami pun tiba di tempat tinggal kami di daerah Bani Sa’d bin Bakr, aku tidak pernah melihat sepetak tanah pun milik kami yang lebih subur saat itu. Domba_ domba kami datang menyongsong kedatangan kami dalam keadaan kenyang dan air susunya juga berisi penuh, sehingga kami bisa memerahnya dan meminumnya. Sementara setiap orang yang memerah air susu hewannya sama sekali tidak mengeluarkan air susu walau setetes pun dan kelenjar susunya juga kempes. Sehingga mereka berkata garang kepada para penggembalanya, “Celakalah kalian! Lepaskanlah hewan gembalaannya kalian seperti yang dilakukan oleh gembala putri Abu Dzu’aib.” Namun domba_domba mereka pulang ke rumah tetap dalam keadaan lapar dan tidak ada setetes pun mengeluarkan air susu. Sementara domba_dombaku pulang dalam keadaan kenyang dan kelenjar susunya berisi penuh. Kami senantiasa mendapatkan tambahan barakah dan kebaikan dari Allah selama dua tahun menyusui anak susuan kami. Lalu kami menyapihnya. Dia tumbuh dengan baik, tidak seperti bayi_bayi yang lain. Bahkan sebelum usia dua tahun pun dia sudah tumbuh pesat.
Kemudian kami membawanya kepada ibunya, meskipun kami masih berharap agar anak itu tetap berada di tengah_tengah kami, karena kami bisa merasakan barakahnya. Maka kami menyampaikan niat ini kepada ibunya. Aku berkata kepadanya, “Andaikan saja engkau sudi membiarkan anakmu ini tetap bersama kami hingga menjadi besar, karena aku khawatir dia terserang penyakit yang biasa menjalar di Makkah.” Kami terus_menerus merayu ibunya agar dia berke-nan mengembalikan anak itu tinggal bersama kami.
Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di tengah_tengah Bani Sa’d bin Bakr, hingga tatkala beliau berumur empat atau lima tahun terjadi peristiwa pembelahan dada beliau. Ini adalah pendapat mayoritas pakar sejarah. Tetapi menurut riwayat Ibnu Ishaq bahwa peristiwa itu terjadi pada usia tiga tahun.
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi Malaikat Jiblril, yang saat itu beliau sedang bermain_main dengan beberapa anak kecil lainnya. Malaikat Jibril memegang beliau dan menelentangkannya, lalu membelah dada dan mengeluarkan hati beliau dan mengeluarkan segumpal darah dari dada beliau, seraya berkata, “Ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu.” Lalu Malaikat Jibril mencucinya di sebuah baskom dari emas dengan menggunakan air Zamzam, kemudian menata dan memasukkannya ke tempatnya semula. Anak_anak kecil lainnya berlarian mencari ibu susunya dan berkata, “Muhammad telah dibunuh !!!” Mereka pun datang menghampiri beliau yang wajahnya semangkin berseri. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim]

2.3. Kembali ke Pangkuan Ibunda Tercinta
Dengan adanya peristiwa pembelahan dada itu, maka Halimah As_Sa’diyah merasa khawatir terhadap keselamatan beliau, sehingga dia mengembalikannya kepada ibunya. Kemudian beliau hidup bersama ibunda tercinta hingga berumur enam tahun.
Beberapa waktu kemudian Aminah binti Wahb merasa perlu untuk mengenang suaminya yang telah meninggal dunia dengan cara mengunjungi kuburannya di Yatsrib Madinah. Maka dia pergi dari Makkah menempuh perjalanan sejauh 500 KM, bersama putranya yang yatim, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, disertai pembantu wanitanya, yaitu Ummu Aiman. Setelah menetap selama satu bulan di Madinah, maka Aminah binti Wahb dan rombongannya siap_siap untuk kembali ke Makkah. Dalam perjalanan pulang itu dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia di Abwa’, yang terletak di antara Makkah dan Madinah.



2.4. Kembali ke Kakeknya yang Penuh Kasih Sayang
Kemudian beliau kembali ke tempat kakeknya, yaitu Abdul Muththalib di Makkah. Perasaan kasih sayang di dalam sanubarinya terhadap cucunya yang kini yatim piatu semangkin terpupk, karena cucunya harus menghadapi cobaan baru di atas luka yang lama. Hatinya bergetar oleh perasaan kasih sayang yang tidak pernah dirasakannya sekali pun terhadap anak_anaknya sendiri. Dia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara. Bahkan dia lebih mengutamakan cucunya dari pada anak_ anaknya.
Pada usia delapan tahun lebih dua bulan sepuluh hari dari umur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kakeknya meninggal dunia di Makkah. Sebelum meninggal, Abdul Muththalib sudah berpesan menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamannya, yaitu Abu Thalib, saudara kandung bapak beliau.

2.5. Bahira Sang Rahib
Ketika usia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencapai dua belas tahun – ada yang berpendapat lebih dari dua bulan sepuluh hari – Abu Thalib mengajak beliau pergi berdagang dengan tujuan Syam, hingga tiba di Bushra, yaitu suatu daerah yang sudah termasuk Syam yang merupakan ibukota Hauran, yang juga merupakan ibukotanya orang_orang Arab, walaupun di bawah kekuasaan Bangsa Romawi. Di negeri ini ada seorang rahib yang dikenal dengan sebutan Bahira – yang nama aslinya adalah Jurjis –. Tatkala rombongan singgah di daerah ini,
maka sang rahib menghampiri mereka dan mempersilahkan mereka mampir ke tempat tinggalnya sebagai tamu kehormatan. Padahal sebelumnya rahib tersebut tidak pernah keluar, namun begitu dia bisa mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sifat_sifat beliau. Sambil memegang tangan beliau, sang rahib berkata, “Orang ini adalah pemimpin semesta alam. Anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Abu Thalib bertanya, “Dari mana engkau tahu hal itu?”
Rahib Bahira menjawab, “Sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tidak ada bebatuan dan pepohonan pun melainkan mereka tunduk bersujud. Mereka tidak sujud melainkan kepada seorang nabi. Aku bisa mengetahuinya dari cincin nubuwah yang berada di bagian bawah tulang rawan bahunya yang menyerupai buah apel. Kami juga bisa mendapatkan tanda itu di dalam kitab kami.”
Kemudian sang rahib meminta agar Abu Thalib kembali lagi bersama beliau tanpa melanjutkan perjalanan ke Syam, karena dia takut gangguan dari pihak orang_orang Yahudi. Maka Abu Thalib mengirim beliau bersama beberapa pemuda agar kembali lagi ke Makkah.
Disebutkan di dalam kitab At_Tirmidzi dan lain_lainnya bahwa Abu Thalib juga mengutus Bilal bersama beliau. Maka Ibnul Qayyim Al_Jauziyah berkata, “Hal ini merupakan kesalahan yang amat mencolok, karena boleh jadi saat itu Bilal belum lahir. Kalaupun sudah lahir, maka tidak bakalan dia bergabung bersama Abu Thalib atau pun Abu Bakar.”

2.6. Perang Fijar
Pada usia lima belas tahun, meletus Perang Fijar antara pihak Quraisy bersama Kinanah, berhadapan dengan pihak Qais Ailan. Komandan pasukan Qaraisy bersama Kinanah dipegang oleh Harb bin Umayyah, karena pertimbangan usia dan kedudukannya yang terpandang. Pada mulanya pihak Qais Ailan yang mendapat kemenangan. Namun kemudian beralih ke pihak Quraisy bersama Kinanah.
Dinamakan Perang Fijar, karena terjadi pelanggaran terhadap kesucian tanah haram dan bulan_bulan suci. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut berga-bung dalam peperangan ini dengan cara mengumpulkan anak panah bagi paman_paman beliau untuk dilemparkan kembali ke pihak musuh. [Lihat Fu’ad Hamzah, Qalbu Jaziratil ‘Arab, (Mesir: Al_Mathba’ah As_Salafiyyah wa Maktabuha, 1923 M), hal. 260]

2.7. Hilful Fudhul
Pengaruh dari peperangan ini, maka diadakanlah Hilful Fudhul pada bulan Dzulqaidah pada bulan suci, yang melibatkan beberapa kabilah Quraisy, yaitu Bani Hasyim, Bani Al_Muththalib, Bani Asad bin Abdul Uzza, Bani Zuhrah bin Kilab, dan Bani Taim bin Murrah. Mereka berkumpul di rumah Abdullah bin Jud’an At_Taimy karena pertimbangan umur dan kedudukannya yang terhormat. Mereka mengukuhkan perjanjian dan kesepakatan bahwa tidak seorang pun dari penduduk Makkah dan juga yang lainnya yang dibiarkan teraniaya. Siapa yang teraniaya, maka mereka sepakat untuk berdiri di sampingnya. Sedangkan terhadap siapa yang berbuar dzalim, maka kedzalimannya harus dibalaskan terhadap dirinya. Perjanjian ini juga dihadiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku pernah mengikuti perjanji-an yang dikukuhkan di rumah Abdullah bin Jud’an, suatu perjanjian yang lebih aku sukai daripada keledai yang terbagus. Andaikata aku diundang untuk perjanjian itu semasa Islam, tentu aku akan memenuhuinya.”
Syaikh Shafiyyurrahman Al_Mubarakfury mengatakan bahwa ruh dari perjanjian itu adalah menghilangkan keberanian model Jahiliyah yang lebih banyak dibang-kitkan oleh rasa fanatisme.

2.8. Mengembalakan Kambing
Pada masa awal remajanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mempu-nyai pekerjaan tetap. Hanya saja beberapa riwayat menyebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menggembala kambing di kalangan Bani Sa’d bin Bakr dan juga di Makkah dengan imbalan uang beberapa dinar.

2.9. Menikah dengan Khadijah
Pada usia dua puluh lima tahun, beliau pergi berdagang ke Syam untuk men-jalankan barang dagangan milik Khadijah. Ibnu Ishaq menuturkan bahwa Khadijah binti Khuwalid adalah seorang wanita pedagang, terpandang, dan kaya raya. Dia biasa menyuruh orang_orang untuk menjalankan barang dagangannya dengan membagi sebagian hasilnya kepada mereka, karena orang_orang Quraisy memiliki hobi berdagang. Tatkala Khadijah mendengar kabar tentang kejujuran perkataan beliau, kredibilitas, dan kemuliaan akhlaq beliau, maka dia pun mengirim utusan dan menawarkan kepada beliau agar berangkat ke Syam untuk menjalankan barang dagangannya. Dia siap memberikan imbalan jauh lebih banyak dari imbalan yang pernah dia berikan kepada pedagang yang lain. Tetapi beliau harus pergi bersama seorang pembantu yang bernama Maisarah. Beliau menerima tawaran ini, maka beliau berangkat ke Syam untuk berdagang dengan diserta Maisarah. . [Lihat Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_ Nabawiyah, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafah Al_Baby Al_Halaby wa Auladuhu, 1375 H), cet. 2, hal. 1/187-188]
Setibanya di Makkah dan setelah Khadijah bin Khuwalid tahu bahwa keuntungan dagangannya yang melimpah, yang tidak pernah dilihatnya sebanyak itu sebelumnya, apalagi setelah pembantunya, yaitu Maisarah mengabarkan kepadanya apa yang dilihatnya pada diri beliau selama menyertainya, bagaimana sifat_sifat beliau yang mulia, kecerdikan dan kejujurannya, maka seakan_akan Khadijah binti Khuwalid mendapatkan barangnyanya yang pernah hilang dan sangat diharapkannya. Sebenarnya sudah banyak para pemuka dan pemimpin kaum yang hendak menikahinya, tetapi dia tidak mau. Tiba_tiba saja dia teringat seorang rekannya, yaitu Nafisah binti Munyah. Dia meminta agar rekannya ini menemui beliau dan membuka jalan agar mau menikah dengan Khadijah binti Khuwalid. Ternyata beliau menerima tawaran itu, lalu beliau menemui paman_ pamannya. Kemudian paman_paman beliau menemui paman Khadijah binti Khuwalid untuk mengajukan lamaran. Maskawin beliau adalah dua puluh ekor unta muda. Usia Khadijah binti Khuwalid sendiri adalah empat puluh tahun, yang pada masa itu dia merupakan wanita yang paling terpandang, cantik, pandai, dan kaya. Dia adalah wanita pertama yang dinikahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak pernah menikahi wanita lain hingga Khadijah binti Khuwalid meninggal dunia.
Putra_putri beliau – selain Ibrahim dilahirkan dari Maria Al_Qibthiyah – dilahirkan dari Khadijah binti Khuwalid adalah Al_Qasim – dengan nama ini beliau dijuluki Abul Qasim –, Abdullah – dia dijuluki Ath_Thayyib dan Ath_Thahir –, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsum, dan Fatimah. Semua putra beliau meninggal dunia selagi kecil. Sedangkan semua putri beliau sempat menjumpai Islam, dan mereka memeluk Islam serta ikut hijrah. Hanya saja mereka semua meninggal dunia selagi beliau masih hidup, kecuali Fatimah. Dia meningga dunia selang enam bulan sepeninggalan beliau, untuk bersua dengan beliau.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_Nabawiyah,
Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_Nabawiyah,
Al_Ghazaly, Fiqhus Sirah, (Mesir: Darul Al_Kitab Al_Araby, 1375 H / 1955 M), cet. 2,
Syaikh Muhammad Al_Khadry, Muhadharat Tarikhil Umam Al_Islamiyyah, (Mesir: Al_Maktabah At_Tijariyyah Al-Kubra, 1382 H),

Jumat, 18 Februari 2011

4 PERKARA SEBELUM TIDUR


(Tafsir Haqqi )
>
> Rasulullah berpesan kepada Aisyah ra : “Ya Aisyah jangan engkau tidur sebelum melakukan empat perkara, yaitu :
>
1.    Sebelum khatam Al Qur’an,
2.    Sebelum membuat para nabi memberimu syafaat di hari akhir,
3.    Sebelum para muslim meridloi kamu,
4.    Sebelum kaulaksanakan haji dan umroh....
>
> “Bertanya Aisyah :
> “Ya Rasulullah.... Bagaimana aku dapat melaksanakan empat perkara > seketika?”
>
> Rasul tersenyum dan bersabda : > “Jika engkau tidur bacalah : Al Ikhlas tiga kali seakan-akan kau > mengkhatamkan Al Qur’an.
>
> Membacalah sholawat untukKu dan para nabi sebelum aku, maka kami semua akan
> memberi syafaat di hari kiamat.
>
> Beristighfarlah untuk para muslimin maka mereka akan meredloi kamu.
>
> Dan,perbanyaklah bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir maka
> seakan-akan kamu telah melaksanakan ibadah haji dan umroh”

AZKA TAMMA ASHFIYA

Definisi Waris


Definisi Waris

 

Al-Miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari

seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:



“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: "Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata".
Sedangkan makna Al-Miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.

B. Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan
Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1.  Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya.
2.  Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu.
3. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. [1]

C. Derajat Ahli Waris
Antara ahli waris yang satu dan lainnya ternyata mempunyai perbedaan derajat dan urutan. Berikut ini akan disebutkan berdasarkan urutan dan derajatnya:
  1. Ashhabul furudh. Mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma'.
  2. Ashabat nasabiyah. yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan.
  3. Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri).
  4. Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat di sini ialah kerabat pewaris yang masih memiliki kaitan rahim tidak termasuk ashhabul furudh juga 'ashabah.
  5. Tambahan hak waris bagi suami atau istri.
  6. Orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun perempuan).
  7. Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris.
  8. Baitulmal (kas negara).

D. Bentuk-bentuk Waris
  1. Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).
  2. Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
  3. Hak waris secara tambahan.
  4. Hak waris secara pertalian rahim.



E. Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
  1. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
  2. Pernikahan
  3. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum.

F. Rukun Waris
Rukun waris ada tiga:
  1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
  2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
  3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
G. Syarat Waris
Syarat-syarat waris juga ada tiga:
  1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
  2. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
  3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.

H. Penggugur Hak Waris

Penggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga:

1. Budak

2. Pembunuhan

3. Perbedaan Agama

 

 I. Ahli Waris Dari Golongan Laki-Laki

Ahli waris (yaitu orang yang berhak mendapatkan warisan) dari kaum laki-laki ada lima belas:
1.      Anak laki-laki,
2.      Cucu laki-laki (dari anak laki-laki),
3.      Bapak,
4.      Kakek (dari pihak bapak),
5.      Saudara kandung laki-laki,
6.      Saudara laki-laki seayah,
7.      Saudara laki-laki seibu,
8.      Anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki,
9.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu,
10.  Paman (saudara kandung bapak),
11.  Paman (saudara bapak seayah),
12.  Anak laki-laki dari paman (saudara kandung ayah),
13.  Anak laki-laki paman seayah,
14.  Suami,
15.  Laki-laki yang memerdekakan budak.
Jika 15 ahli waris tersebut ada, maka yang berhak mendapat waris hanya Anak laki-laki, Ayah, dan Istri, adapun yang lainnya itu mahjub atau terhalang.

 

J. Ahli Waris Dari Golongan Wanita

Adapun ahli waris dari kaum wanita ada sepuluh:
1.      Anak perempuan
2.      Ibu,
3.      Anak perempuan (dari keturunan anak laki-laki),
4.      Nenek (ibu dari ibu),
5.      Nenek (ibu dari bapak),
6.      Saudara kandung perempuan,
7.      Saudara perempuan seayah,
8.      Saudara perempuan seibu,
9.      Istri,
10.  Perempuan yang memerdekakan budak.

Jika 10 ahli waris tersebut ada, maka yang berhak mendapat waris hanya Anak, perempuan, Ibu, Anak perempuan (dari keturunan anak laki-laki), Istri, Saudara kandung perempuan, adapun yang lainnya itu mahjub atau terhalang.[2]

Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu
1.           Setengah (1/2)
2.           Seperempat(1/4)
3.           Seperdelapan (1/8)
4.           Dua per tiga (2/3)
5.           Sepertiga (1/3)
6.           Dan seperenam (1/6).

Ahli Waris

Jumlah Bagian

Syarat

SUAMI

½

Tidak ada anak

¼

Bersamaan dengan anak


Ahli Waris

Jumlah Bagian

Syarat

ISTRI


¼

Tidak ada anak

Bersamaan dengan anak

 

 


Ahli Waris

Jumlah Bagian

Syarat

 

AYAH

Tidak ada anak laki-laki

sisa

Bersamaan dengan anak perempuan

Ashobah

Tidak ada anak laki-laki dan perempuan


Ahli Waris

Jumlah Bagian

Syarat

 

IBU

bersamaan dengan anak dan tidak ada saudara

lk & pr yang lebih dari satu

Jika tidak ada

sisa

Bersamaan dengan ayah, ibu dan suami/istri


Ahli Waris

Jumlah Bagian

Syarat

ANAK PEREMPUAN

½

Jika hanya satu dan tidak ada waris ashobah

Jika ada 2 atau lebih & tidak ada waris ashobah

Ashobah

bilghoir

Bersamaan dengan anak laki-laki

 

 


Ahli Waris

Jumlah Bagian

Syarat

ANAK PEREMPUANNYA

ANAK LAKI-LAKI

½

Jika hanya satu dan tidak ada anak kandung

Dan tidak ada orang yang mengasobahkannya

Jika lebih dari satu dan tidak ada anak

 

kandung dan tidak ada ahli waris yang

 

mengasobahkannya

Asobah

Jika bersamaan dengan ibnu ibnin yang sama

Bil ghoir

Mahjub

Derajatnya

Bersamaan dengan anak laki-laki, dan

Bersamaan dengan 2 bintun atau lebih

Dan tidak ada yang mengasobahkan

 

Ahli Waris

Jumlah Bagian

Syarat

SAUDARA KANDUNG

½

Jika hanya satu dan tidak ada walad , waladul

Ibni, ayah, nenek, dan tidak ada yang

Mengasobahkan

Jika lebih dari satu tidak ada ibnu, waladul

Ibni, ayah, nenek, dan tidak ada yang

Mengasobahkan

Asobah bilghoir

Jika bersamaan dengan saudara kandung & jad

Lebih dari satu dan bersamaan dengan bintun

Atau bintu ibni

Asobah

Maal ghoir

Jika lebih dari satu bersamaan dengan bintun

Atau bintu ibni

Mahjub

Jika ada ayah atau ibnu, atau ibnu ibni

Terus jalur keatas

 

Ahli Waris

Jumlah Bagian

Syarat

NENEK


Tidak ada ibu …

Mahjub

Jika ada ibu …

 

 


 

Ahli Waris

Jumlah Bagian

Syarat

KAKEK


Jika tidak ada ayah dan bersamaan dengan

Anak laki-laki

+ sisa

Jika tidak ada ayah dan bersamaan dengan

Anak Perempuan

Ashobah

Jika tidak ada ayah dan Anak laki-laki

 

Ahli Waris

Jumlah Bagian

Syarat

Saudara Perempuan Se-ayah

½

Hanya satu dan tidak ada anak kandung, ayah

Kakek, sdr kandung, dan mu`asib

Jika 1 atau lebih dan bersamaan dgn sdr pr

Kandung

Jika lebih satu dan tidak ada anak kandung, ayah

Kakek, sdr kandung, dan mu`asib

Ashabah bilghoir

Jika bersamaan dgn sdr lk seayah, atau kakek

Ashabah ma`al ghoir

Jika 1 atau lebih dan bersamaan dgn anak pr

Atau cucu pr dari anak lk

Mahjub

Dengan anak lk, cucu lk, sdr kandung,

Sdr pr kandung, anak pr, cucu pr dari

Anak lk

 

Ahli Waris

Jumlah Bagian

Syarat

Saudara

lk dan Pr

se-ibu


Jika lebih satu dan tidak ada anak kandung, ayah

kakek

Jika satu dan tidak ada anak kandung,

Ayah, kakek

Mahjub

Dengan anak lk, ayah, kakek

 

K. `ASHABAH

'Ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas.
Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.[3]


Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu:
1. 'Ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu:
a.    'Ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur wanita),
b.    'Ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain),
c.    'Ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain).
2.    Ashobah sababiyah (karena sebab).
Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan

 

L. AL-HUJUB

Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan hak ahli waris untuk menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja disebabkan adanya orang yang lebih berhak untuk menerimanya.

Macam-macam al-Hujub
Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena orang lain).
1. Al-hujub bil washfi
Yaitu orang yang terkena hujub tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh pewarisnya atau murtad.
2. Al-hujub bi asy-syakhshi
yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya.
Al-hujub bi asy-syakhshi terbagi dua:
a.    Hujub hirman yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang.
b.    Hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk mendapatkan bagian yang terbanyak.

AHLI WARIS

DIMAHJUBKAN OLEH

 

Kakek

Ayah

 

 

 

 

Nenek

Ibu

 

 

 

 

Cucu lk

Anak lk

 

 

 

 

Saudara lk kandung

ayah

Anak lk

Cucu lk

 

 

Saudara pr kandung

ayah

Anak lk

Cucu lk

 

 

Saudara lk seayah

ayah

Anak lk

Cucu lk

Sdr lk kdng

Sdr pr kdng

Saudara pr seayah

ayah

Anak lk

Cucu lk

Sdr lk kdng

Sdr pr kdng

Saudara lk seibu

kakek

Anak lk

Cucu lk

Anak pr

Cucu pr

Saudara pr seibu

kakek

Anak lk

Cucu lk

Anak pr

Cucu pr

Dst…

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

M. AL-MAHRUM

Yang dimaksud Al-Mahrum adalah seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat menggugurkan hak warisnya, seperti membunuh atau berbeda agama.


CONTOH CARA PEMBAGIAN HARTA WARIS

Contoh pertama
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan, dan saudara laki-laki seayah, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Pokok masalahnya dari 2
Keterangan
Jumlah Bagian
Nilai
Anak perempuan
1/2
1
Saudara kandung perempuan 'ashabah ma'al ghair
1/2
1
Saudara laki-laki seayah
Mahjub
0
Keterangan
Bagian anak perempuan adalah setengah secara fardh, dan sisanya merupakan bagian saudara kandung perempuan disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair, yang kekuatannya seperti saudara kandung laki-laki. Sedangkan saudara laki-laki seayah terhalang karena saudara kandung perempuan menjadi 'ashabah.

Contoh Kedua
Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dua orang saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya seperti dalam tabel berikut:
Pokok masalahnya dari 4
Keterangan
Jumlah Bagian
Nilai
Suami
1/4
1
Cucu perempuan
1/2
2
Saudara kandung perempuan
'ashabah ma'al ghair
1
Saudara laki-laki seayah
mahjub
0



Contoh Ketiga
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan, saudara perempuan seayah, dan anak laki-laki saudara laki-laki (kemenakan). Pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 3
Keterangan
Jumlah Bagian
Nilai
Dua anak perempuan
2/3
2
Saudara perempuan seayah
'ashabah ma'al ghair
1
Anak saudara laki-laki
mahjub
0

Contoh Keempat
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, seorang ibu, saudara perempuan seayah, dan paman kandung (saudara dari ayah kandung). Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 6
Keterangan
Jumlah Bagian
Nilai
Anak perempuan
1/2
3
Cucu perempuan
1/6
1
Ibu
1/6
1
Saudara perempuan seayah
'ashabah ma'al ghair
1

Contoh kelima
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki, suami, seorang ibu,. Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 12
Keterangan
Jumlah Bagian
Nilai
Suami
¼
3
Ibu
2
Anak laki-laki
Ashobah binafsih
7




BAB III
PENUTUP


Demikianlah apa yang dapat kami tuliskan dari taufik Allah. Bila terdapat kekeliruan tentunya itu adalah kesalahan kami karena keterbatasan pengetahuan kami, dan kalau benar, tidak lain adalah karena anugerah Allah SWT pemelihara sekalian alam.

          Semoga makalah yang sederhana ini bermanfaat bagi kita semua amin


DAFTAR PUSTAKA

Abi Yahya al-anshari, Fathul Wahab, Toha Putra, semarang. cet. 1989

Dzanurain, Idatul Farid. Maktabah nabhan, Surabaya.1995

Wahab Afif,M.A. Fiqih Mawaris, Yayasan Ullumul Qur`an. Semarang. 1994

Departemen agama RI, Alquran dan Terjemahnya, (Jakarta: Intermasa, 1992)

Mahmud Yunus, Kamus Arab – Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1972)


[1] Wahab Afif,M.A. Fiqih Mawaris, Yayasan Ullumul Qur`an. Semarang. 1994. Hal 43
[2] Ibid, hal. 51
[3] Dzanurain, Idatul Farid. Maktabah nabhan, Surabaya.1995. hal 26